Gagal lagi. Lagi. Dan lagi.
Untuk kali ketiga beruntun, masyarakat Indonesia dipaksa menyaksikan tim nasional arahan Luis Milla mengakhiri turnamen tanpa trofi. Pertama, timnas U-23 terpaksa gagal berlaga di Piala Asia U-23 karena tersingkir di kualifikasi.
Kedua, tim 'Merah-Putih' juga hanya membawa pulang medali perunggu di SEA Games. Dan hari ini (6/12/2017) kita sama-sama menyaksikan tim Garuda ditekuk Kyrgistan 0-1 di laga pamungkas Aceh Solidarity World Cup 2017.
Atas kekalahan itu, Evan Dimas dkk hanya menyegel posisi runner-up di klasemen akhir dalam turnamen yang berlangsung dengan sistem round-robin tersebut dengan nilai 6. Di lain pihak, Kyrgistan menjadi juara dengan raihan 9 poin dalam 3 pertandingan.
Sejak awal, tekanan untuk menjadi juara memang tidak terlalu besar mengingat ini hanya turnamen bertajuk solidaritas. Namun, tetap saja menjadi juara adalah keharusan karena kita bermain di rumah sendiri dan 'hanya' melawan tim yang juga tidak menurunkan kekuatan terbaiknya.
Luis Milla bisa menuding banyak faktor sebagai biang kerok kegagalan ini. Lapangan yang tidak sesuai standar, misalnya. Atau faktor komposisi skuat itu sendiri di mana ia masih melakukan sejumlah rotasi sehingga starting line-upidamannya belum terlihat sepanjang turnamen ini.
Kumparan.com
Apapun itu, kegagalan ini membuat tantangan Milla tahun depan kian berat. Pasalnya, 2018 akan menjadi tahun krusial bagi juru taktik asal Spanyol itu yang harus meloloskan timnas U-23 setidaknya ke semifinal Asian Games yang akan berlangsung di Indonesia. 
Ya, di Asian Games tahun depan, Indonesia akan menjadi tuan rumah. Meski selama ini hasil pertandingan timnas belum memuaskan, target tinggi itu memang bisa dimengerti. Syukurnya, masih ada kurang lebih delapan bulan lagi bagi Milla untuk mempersiapkan timnya.
Selagi Asian Games berada di depan mata, Milla juga dibebani target meraih juara di Piala AFF 2018 bersama tim senior. Target itu menjadi terlihat amat berat karena rekam jejak Milla yang belum juga moncer bersama skuat Garuda. 
Berdasarkan catatan kumparan.com (2/12/2017), sang pelatih utama timnas Indonesia itu bahkan tidak bisa bicara banyak ketika menangani tim di level Asia Tenggara, baik dalam turnamen sebenarnya maupun laga-laga uji coba.
Kumparan.com
Mengkhawatirkan? Pasti.
Bagi saya pribadi, pencapaian Milla yang ditunjuk pada Januari hingga nyaris penghujung tahun ini masih amat jauh dari ideal. Saya memang tidak berharap Milla menang di setiap laga yang dipimpinnya, apalagi ceh Solidarity World Cup 2017 memang hanya turnamen pemanasan untuk menyiapkan tim menuju pertarungan sebenarnya tahun depan. 
Tetapi menyusul gaji Luis Milla yang menurut bolalob.com (27/1/2017) mencapai tiga kali jumlah yang diterima Alfred Riedl, adalah hal yang manusiawi jika kita juga menuntut prestasi yang tiga kali lebih baik daripada Riedl yang mengantar timnas senior dua kali menjadi runner-up Piala AFF.
Image: bolalob.com
Saya hanya membayangkan kalau Luis Milla adalah Indra Sjafri, mungkin ia sudah langsung dievaluasi dan kemudian dipecat oleh PSSI. 
Tetapi PSSI dan sebagian besar masyarakat negeri ini tampaknya masih punya segudang kesabaran sambil berharap siapa tahu Luis Milla bisa memperbaiki rekor buruknya ini langsung di turnamen yang sebenarnya.
Semoga.