IDEALISME tinggi menjadi titik tolak penyelenggaraan Liga 1. Sebuah kompetisi sepak bola profesional kasta tertinggi pertama yang lahir setelah pencabutan sanksi pembekuan PSSI.
Akan tetapi, di ujung, liga yang dicita-citakan menjadi spirit baru kemajuan sepak bola Indonesia itu justru menyisakan banyak cerita buruk. Kontroversi terjadi bertubi-tubi, dari permulaan hingga pengujung kejuaraan.
Prolog Liga 1 di bawah operator PT Liga Indonesia Baru begitu gebyar dengan kehadiran deretan pemain asing yang sempat sangat tenar di kancah sepa bola internasional.
Pemberlakukan aturan perekrutan marquee player untuk menambah kuota pemain asing menjadi empat orang, dimanfaatkan oleh sejumlah klub.
Merogoh uang banyak, mereka mendatangkan sejumlah mantan pesepak bola tenar. Para pemain ini sebenarnya sudah tidak pada usia emas, punya riwayat cedera parah, grafik performa menurun, bahkan boleh dibilang tak lagi kompetitif untuk menjalani kompetisi penuh. Namun, nama besar pemain-pemain ini masih menjadi daya pikat dan tentu saja bernilai jual.
Maka, hebohlah kompetisi Indonesia dengan kedatangan Michael Essien (eks bintang Chelsea dan Tim Nasional Ghana), Carlton Cole (eks Chelsea/Inggris), Mohammed Sissoko (eks Liverpool/Mali), Peter Odemwingie (eks Stoke City/Nigeria), dan lainnya.
Pemain U-23
Tak kalah gaduhnya adalah penerapan regulasi yang mewajibkan setiap tim memainkan tiga pemain U-23 selama 45 menit pertama dan pembatasan pemain senior berusia di atas 35 tahun (hanya dua orang per klub).
Regulasi ini ditetapkan ujug-ujug pada awal liga, sedangkan banyak klub sudah membangun fondasi timnya dengan para pemain senior jauh-jauh hari sebelum liga dimulai.
Maka, tidak sedikit pelatih maupun pengurus klub yang bersungut-sungut tak bisa tampil dengan kekuatan terbaiknya lantaran regulasi ini. Para pemain senior yang merasa tempatnya direbut paksa oleh pemain muda pun mengeluh lantaran menit bermain ditentukan oleh aturan, bukan kualitas.
Anehnya, regulasi ini cuma bertahan 11 pekan. Penyakit inkonsistensi dalam penerapan aturan kembali dipertontonkan oleh operator liga. Ketika beberapa klub sudah beradaptasi dan menemukan formasi terbaik dengan deretan pemain muda potensial, regulasi pemain muda ini dicabut.
Seperti halnya saat aturan ini diterapkan, pencabutan regulasi ini pun mengabaikan protes sejumlah klub yang merasa dirugikan dan menuding perubahan ini hanya siasat operator untuk "menolong" klub-klub yang performanya sempoyongan karena tak punya pemain muda mumpuni dengan jumlah memadai.
Masalah lainnya
Dalam perjalanannya, Liga 1 juga masih diwarnai peristiwa kontroversial. Selain perubahan jadwal semena-mena oleh operator dan ketidaksanggupan atau keterlambatan pembayaran gaji pemain oleh klub peserta, ulah kepemimpinan wasit hingga perilaku suporter yang menyulut huru-hara juga kembali menjadi noda.
Ketidakpuasan atas kualitas wasit lokal membuat operator membuka keran penggunaan wasit asing. Sialnya, kebijakan ini juga tak banyak membantu.
Wasit-wasit asing yang digunakan juga nyatanya tidak luput dari kesalahan-kesalahan vital yang memicu kontroversi, salah satu contohnya adalah gol yang tidak disahkan pada laga panas antara Persija Jakarta versus Persib Bandung di Solo.
Sementara itu, tampaknya belum ada formula mujarab untuk meredam perilaku agresif dan anarkistis suporter.
Kendati dilarang, nyala flare masih selalu terulang. Suporter menerobos memasuki area lapangan bukan pemandangan aneh. Bahkan, perkelahian antarsuporter atau bentrokan dengan petugas keamanan juga masih terus terjadi.
Kabar duka
Seorang suporter menjadi korban jiwa. Ricko Andrian (22) meninggal dunia setelah dikeroyok oknum bobotoh saat laga Persib dengan Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api.
Kabar duka berlanjut dengan meninggalnya kiper sekaligus kapten tim Persela Lamongan Choirul Huda. Yang menjadi sorotan adalah penanganan pertama kepada Choirul Huda setelah mengalami benturan dalam pertandingan. Operator dinilai punya pekerjaan rumah besar untuk pengawasan penyediaan fasilitas medis dan tim medis.
Berakhir senyap
Berbeda dengan awalnya yang begitu gempita, Liga 1 berakhir dengan senyap. Bhayangkara FC dinobatkan sebagai juara dengan akhir yang miris. Seremoni pemberian gelar juara dilakukan setelah mereka kalah 1-2 dari Persija Jakarta.
Bukan itu saja, liga berakhir antiklimaks karena memang gelar juara lebih ditentukan oleh keputusan sanksi dari Komisi Disiplin PSSI.
Sesuai Surat Komdis PSSI Nomor 112/L1/SK/KD-PSSI/X/2017 awal November lalu, Mitra Kukar dinyatakan kalah 0-3 dan diwajibkan membayar denda karena dinyatakan memainkan pemain tidak sah, yakni Mohamed Sissoko, saat menjamu Bhayangkara FC di Stadion Aji Imbut, Tenggarong, Jumat 3 November 2017.
Dampak sanksi tersebut, Bhayangkara FC mendapat 3 poin dari sebelumnya hanya 1 poin (laga Mitra Kukar vs Bhayangkara FC berakhir dengan skor 1-1). Seperti mendapatkan durian runtuh, posisi Bhayangkara otomatis ke puncak klasemen menggeser Bali United, tanpa harus susah payah.
Aksi heroik Bali United yang menaklukkan PSM Makassar dalam duel sengit berujung kericuhan suporter di Stadion Mattoaingin pun menjadi sia-sia.
Mitra Kukar sebenarnya merasa keberatan dengan keputusan ini. Mereka mengaku kesalahan ada pada PT Liga Indonesia Baru sebagai operator yang terlambat memberitahukan status hukuman Sissoko.
Jelang pertandingan melawan Bhayangkara FC, mereka hanya mendapat pemberitahuan hanya satu pemainnya yakni Herwin Syahputra yang tak bisa bermain, bukan Mohamed Sissoko. Namun, entah kenapa Mitra Kukar tidak menyatakan banding secara resmi sehingga sanksi tetap berlaku.
Bhayangkara pun menjadi juara dengan punya poin akhir 68, sama dengan Bali United. Namun, tanpa sanksi "hadiah" poin dari laga Mita Kukar, perolehan poin klub yang identik dengan kepolisian itu akan defisit dua poin dari Bali United.
Kontroversi ini memicu komentar sinis dari sejumlah pesepak bola tanah air tentang betapa anehnya penentuan juara dalam kompetisi Indonesia. Wajar pula jika tak terasa euforia juara, seolah Bhayangkara hanya juara untuk kalangan klub sendiri dengan respek alakadarnya, bahkan sekadar formalitas, dari kontestan lain.
Sementara itu, respek besar layak diberikan pada Bali United. Selama 34 pekan kompetisi digelar, Serdadu Tridatu adalah tim dengan permainan paling agresif sehingga mencetak gol paling banyak, yakni 76 gol, jauh lebih banyak ketimbang Bhayangkara yang hanya bikin 61 gol. Jumlah kekalahan Bali United juga lebih sedikit (8) ketimbang Bhayangkara (10).
Bali United juga merobohkan rekor yang berusia lebih dari 20 tahun setelah penyerangnya, Sylvano Comvalius mampu mencetak 37 gol, melampaui rekor Peri Sandria (34 gol musim 1994-1995).
Jika menilik jumlah kemenangan di atas lapangan (tanpa sanksi hadiah kemenangan dalam laga Mitra Kukar untuk Bhayangkara), kedua tim itu sama-sama mengumpulkan 21 kemenangan.
Maka, tak heran jika Bali United tetap menggelar pesta satire bertema ”The Real Champions” pada laga terakhirnya.